Minggu, 19 Oktober 2008

PENDIDIKAN vs PACA (MAS KAWIN) MANGGARAI

Malang-IKAMARTIM Malang Raya dibawah kordinir departemen LITBANG mengadakan sarasehan ilmiah di Univ. Kanjuruhan dengan tema Pendidikan Berbasis Budaya. Kegiatan ini diadakan untuk menambah wawasan anggota IKAMARTIM mengenai Budaya Paca Manggarai serta keberadaannya yang kadang mempengaruhi proses pendidikan di Manggarai. Sarasehan ini menghadirkan Bpk. Konstantinus Noda, S.S sebagai pembicara, dengan moderator Karel K. Arsima. Kegiatan ini berlangsung cukup lama yaitu dari jam 11.30 - 14.30 WIB.
Dalam diskusi kali ini ada banyak pro dan kontra tentang keberadaan budaya paca (sering disebut belis) di Manggarai yang sangat membebani pihak laki-laki, sampai kadang pendidikan itu tidak diperhatikan, karena banyak untuk dikorbankan ke Paca. Namun diakhir acara sebagai kesimpulan Pemateri mengatakan bahwa budaya dan pendidikan itu harus berjalan berdampingan. Budaya itu Indah, sehingga patut dilestarikan, Kata Sipri Pempot, s.Sos di sela sela pembicaraan dengan nara sumber. (Hans/Red.)

untuk mendownload materi, klik di sini

5 komentar:

alfonsrahmat.blogspot mengatakan...

MAS....INI BERBICARA PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA.BAGAIMANA PERANAN BUDAYA MANGGARAI DALAM DUNIA PENDIDIKAN.jADI, TOLONMG DALAM TULISANNYA DI JELASKAN SECARA TERPERINCI SOAL PENDIDIKAN DAN BUDAYA BIAR ORANG TAHU OH.....KONSEP MAHASISWA MALANG SOAL PENDIDIKAN SEPERTI INI. YANG ANDA TULIS DISINI HANYA BERITA, BUKAN OPINI TENTANG PENDIDIKAN DAN BUDAYA. AKU MINTA OPININYA DIMASUKAN YA.......BRAVO....PRO ECLESIA ET PATRIA.

alfonsrahmat.blogspot mengatakan...

pesan buat mas karel.salam can timi manggarai timur ye.........
SAYA BANGGA DENGAN TEMAN-TEMAN MAHASISWWA MANGGARAI TIMUR YANG SUDAH MEMEBNETUK WADAH TERSENDIRI UNTUK MEMBUKA WAAASAN UNTUK BERDISKUSI, SEHINGGA MUNCUL GAGASAN BARU BAIK DALAM MENMBANGUN MANGGARAI TIMUR MAUPUN NTT SECARA KESELURUHAN.
KALAU DISKUSI LAGI UNDANG KITA-KITA YA...........SALAM PA JAGE AND OM HANS.SERTA TEMAN-TEMAN LAIN . MAJU MANGGARAI TIMUR.


FROM


APONG

Anonim mengatakan...

Berbicara mengenai soal kebudayaan paca di Manggarai,khususnya di derah Manggarai Timur, sedikit berbeda dengan Budaya Manggarai dan Manggarai barat.Hal tersebut terbukti bahwa di daerah Manggarai timur,sebagai contoh jika orang tua wanita meminta paca (belis) dalam bentuk material,misalnya kerbau atau sapi maka benar-benar binatang tersebut harus dibawa dan tidak dapat diganti oleh material lain atau binatang lain yang dapat dipakai sebagai pengganti.Sedangkan untuk daerah Manggarai barat dalam hal belis ini,seandainya orang tua wanita meminta kepada pihak laki-laki seekor kerbau atau kuda sebagai belis,maka binatang tersebut dapat diganti dengan binatang lain apabila pihak laki-laki tidak mampu membeli binatang yang dimaksud.Hal-hal lain juga yang menjadi budaya di daerah Manggarai Timur adalah soal belis berdasarkan tingkat pendidikan anak perempuan.sebagai contoh apabila anak perempuannya tamat sarjana maka biaya paca atau belis pun begitu mahal.Karena orang tuanya mungkin berpikir bahwa ia telah mengeluarkan banyak uang untuk membiayai perkuliahan anak perempuannya.Sehingga untuk mengembalikan uang tersebut yaitu dengan cara meminta paca atau beliis yang tinggi kepada suami anaknya.Padahal jika dipikirkan bahwa anak perempuan menikah dan dibawa kerumah suaminya bukan untuk disiksa dan lain sebagainya,melainkan untuk dipelihara dan suaminya bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya nanti.Baik kalau yang diminta hanya itu saja.Akan tetapi masih ada uang yang diminta oleh pihak wanita kepada laki-laki misalnya sida atau sekek.Sida atau Sekek merupakan bentuk tanggung jawab sang saudari yang sudah bersuami untuk membantu saudaranya apabila mempunyai kesulitan dalam hal uang.Atau apabila saudara yang belum menikah,saat mau menikah,ia harus membebabankan sebagian kebutuhan acara yang dipersiapkan kepada saudarinya yang sudah bersuami.Jadi suaminya harus bekerja keras untuk mencari uang guna mempertanggungjawankan beban yang diberikan oleh iparnya dan juga mempertanggungjawabkan kehidupan keluarganya.Dan kebanyakan apabila sang saudari dengan suaminya tidak bisa membantu itu semua,maka sering terjadi putus hubungan keluarga antara saudari yang bersuami dengan saudaranya yang mau menikah.Ada juga segelintir orang tua perempuan di daerah Manggarai Timur yang tidak merestui hubungan anaknya karena melihat kelurga laki-laki yang tidak berkecukupan.Munkin mereka berpikir bahwa mereka tidak bisa meminta belis yang tinggi kepada calon suaminya nanti.Padahal jika dikaitkan dengan ajaran Katolik,karena sebagian besar warga manggarai adalah Katolik,dasar perkawinan Katolik adalah cinta, bukanlah Paca atau Belis.
Jadi,tak ada artinya pelajaran agama bagi kita.
Jika sesorang berpikir dengan baik,khususnya orang tua yang anak perempuannya mengenyang pendidikan tinggi,dalam masalah belis nanti tidak boleh berpikir tentang biaya yang sudah dikeluarkan saat anak perempuannya bersekolah sehingga harus meminta belis yang setimpal sebagai impas dari biaya yang telah dikeluarkan.
Sesuatu hal yang harus dipikirkan lagi dengan baik mengenai Paca atau Belis di daerah Manggarai Timur kawasan utara,adalah adanya istila Poka (tebang).Poka berarti meminta tawaran untuk mengurangi biaya belis yang dilakukan oleh pihak laki-laki kepada pihak wanita.Apabila kita memikirkan hal ini dengan baik bahwa,secara kasar perempuan bisa dikatakan sebagai barang jual beli antar orang tua wanita dengan orang tua laki-laki.
Jadi martabat wanita sepertinya tidak ada guna karena dijadikan sebagai barang jual beli oleh orang tua.
Akibatnya adalah banyaknya wanita-wanita yang tidak bersuami karena takut dimintai belis yang tinggi atau diistilahkaon oleh orang Manggarai Timur sebagai "MOLAS TUNANG "
(Perawan Tua).Akibatnya yang lain adalah bisa saja kaum pria tidak mau bersekolah tinggi karena takutnya nanti dimintai belis tinggi oleh orang tua istrinya,,karena salah satu faktor juga yang mempengaruhi tingginya belis di Manggarai Timur adalah pendidikan yang dianut oleh calon suami anaknya.Kalau calon suami anaknya adalah tamatan sekolah tinggi maka ada juga orang tua tertentu yang berpikir bahwa dia bersekolah tinggi karena mempunyai uang banyak sehingga ia dengan seenaknya meminta belis yang tinggi kepada calon suami anakny itu.Mereka tidak pernah berpikir bahwa seorang bisa bersekolah tinggi,mungkin karena mendapat beasiswa ataupu bantuan-bantuan lain.Mereka hanya berpikir bahwa dia bisa bersekolah tinggi hanya karena mempunyai uang banyak.
Jadi,hal ini dipengaruhi oleh pendidikan orang tua yang belum memadai.
Akibat yang paling fatal adalh banyaknya pihak laki-laki yang menjual harta bendanya untuk memenuhi belis.Padahal material itu nanti digunakan sebagai tulang punggung perekonomianya bersama istrinya nanti.Banyak juga yang tidak mellanjutkan pendidikan anaknya ,hanya karena mau mengurus uang untuk keperluan belis dari keluarga-keluarga.
Akibat yang timbul pada yang akan datang adlah bisa saja terjadi pendidikan masyarakat Manggarai Timur tidak begitu memadai karena hanya memeikrkan tentang belis yang begitu tinggi.
Satu pertanyaan bagi diri kita khususnya warga Manggarai Timur,apakah kita tetap mempertahankan budaya ini ?Sementara banyak korban sebagai akibat dari ini semua,salah satunya adalah banyaknya masyarakat yang tidak dapat melanjutkan pendidikan tinggi karena memikirkan masalah belis.Sementara untuk menunjang majunya daerah Manggarai Timur salah satunya adalah pada sektor pendidikan.Apakah warga Manggarai Timur dapat maju dan berkembang lebih baik apabila generasi Manggarai Timur banyak yang tidak mendapat pendidikan yang memadai?
Jadi bagi para orang tua saat ini atau pun generasi muda Manggarai Timur saat ini yang merupakan calon orang tua dari seorang anak harus memikirkan hal ini secara detail demi memajukan Manggarai Timur pada masa yang akan datang
Tentang budaya paca atau belis seperti yang telah dijelaskan di atas tidaklah semua berlaku pada semua kalangan masyarakat Manggarai Timur.
Hal ini tidaklah berarti bahwa semua orang tua di daerah Manggarai khususnya Manggarai Timur bersifat seperti apa yang telah dijelaskan di atas.
Menurut pribadi saya bahwa tidak selamanya kebudayaan itu perlu diikuti.Sebagai contoh bahwa budaya orang tua dulu yakni anak harus menikah dengan orang yang dijodohkan oleh orang tua tetapi kenyataanya sampai sekarang budaya tersebut sudah semakin hilang karena orang menganggap kuno dan tidak sesuai dengan tuntutan zaman.
Jadi menurut saya budaya paca atau belis yang terlalu tinggi merupakan salah satu budaya yang tidak perlu dipertahankan karena
dapat membuat mundurnya suatu bangsa'

Malang,18 April 2009

Nama lengkap : Yulius Meldus
Sapaan : Meldus
Samaran : Bomba
TTL : Watunggong, 5 Juli 1989
Alamat asal : Watunggong,Manggarai
Timur,Flores,NTT
Alamat tinggal : Jl.Kelayatan III RT/RW 02
Bandungrejosari,Sukun
Malang,Jawa Timur
Nomor rumah : 16 9 ( kos- Anggrek Putra)
E-mail adress : yulius.meldus@yahoo. com

Mat. Barus mengatakan...

berbicara tentang budaya........? it's ok coi........
dapatkah kita bayangkan bahwa budaya itu ndah, budaya itu mengashikan ...?!.....
mari kita tengok lebih dalam lagi dimana budaya itu ibarat bunga yang selalu memberi warna kepada lingkungan dimana ia berada begitu pun dengan budaya cos dia adalah warna bagi setiap orang yang memahami tentang budaya maupun yang tidak memahaminya.......
pernahkah anda memngenal sebuah idiom yang mengatakan "Different fund different fish".....?? yang artinya bedah kolam bedah ikannya.........oki, asik lho budaya itu karena dapat mengenal seseorang n ingat coi jangan mengekspreskanya sebagai suatu alasan yang menghalangi jalannya pendidikan anak Manggarai

Justinus Jabur Barus mengatakan...

TRAFFICKING DALAM BUDAYA MANGGARAI
Trafficking adalah pencarian keutungan oleh orang-orang tertentu dengan menjual manusia, entah itu perempuan maupun laki-laki. Dalam konteks ini budaya “belis” Manggarai, perempuanlah yang menjadi korban. Yang menjadi sorotan di sisni adalah kata menjual karena melanggar martabat manusia Sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang tidak bisa diperjual-belikan. Jika manusia diperjual-belikan berarti manusia itu disamakan dengan barang atau benda mati, padahal manusia tidak bisa diukur dan dinilai dengan materi apapun. Manusia itu tak ternilai hrganya. Di sinilah letak persoalan, jika manusia diukur dan dinilai dengan materi maka martabat manusia yang tak ternilai harganya itu dilecehkan.
Belis Sebagai Model Trafficking.
Mengacu pada definisi trafficking di atas, saya menilai “belis” merupakan salah satu model trafficking yang terselubung dalam budaya Manggarai. Kaum kelurga perempuan mencari keuntungan dari pernikahan anak perempuanya dengan menentukan belis sebagai hraga atau nilai dari si anak. Anak perempuan menjadi komoditi yang sangat mahal nilai jualnya dalam keluarga. Dalam perkembangan zaman, besarnya belis kemudian bergantung pada tingkat pendidikan yang dicapai oleh si anak. Makin tinggi tingkat pendidikan yang dicapai semaka besar nilai belisnya, sebaliknya semakin rendah tingkat pendidikan yang dicapai maka semakin kecil pula nilai belisnya. Dalam kasus ini sudah sangat jelas melecehkan martabat luhur manusia yang diciptakan sama dan sejajar tanpa dibedakan oleh status apaun yang disandang oleh manusia. Dengan perbedaan penentuan besarnya belis antara orang yang berpendidikan tinggi dan berpendidikan rendah, secara implicit telah membedakan martabat manusia satu dengan yang lain.
Alasan pembenaran yang seringkali muncul dalam budaya “belis” ini adlah demi balas jasa orang tua. Kalau alasan balas jasa, bukankah orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab mendidik dan membesarkan anak-anak mereka, sebagimana tujuan perkawinan untuk meneruskan keturunan dan memelihara kehidupan.
Masalah belis seringkali sampai pada pengekangan kebebasan anak dalam menentukan jodohnya, dalam menetukan keluarganya dan menentukan keberlangsungan perkawinannya. Hal ini terjadi seperti dalam banyak kasus, tidak menuntaskan belis seperti yang telah diputuskan bersama antara kedua belah pihak (keluarga laki-laki dan perempuan) seringkali perkawinan yang telah berlangsung diakhiri dengan perceraian secara paksa oleh keluarga.
Jadi ada tiga kasus yang pelanggaran yang terselubung dalam budaya belis yaitu trafficking, martabat dan nilai manusia bisa ditentukan dengan besarnya belis dan pengekangan hak dan kebebasan anak.